TERAS
Teras
Karya, Maspupah septiani
Suatu hari di teras depan rumah yang terdapat dua kursi kayu yang ditengahnya ada sebuah meja. Diteras itu ada sebuah taman kecil milik ayah, ada beberapa tanaman kesayangan ayah. Beberapa bulan ini ayah menyukai hobi memelihara tanaman bonsai. Setiap pagi dan sore selalu ia siram, kadang rantingnya digunting untuk membentuk yang diinginkannya. Sebuah kegiatan yang baru setelah dan sebelum ia berangkat bekerja.
Pagi ini ia tampak sedang menyeruput kopi hitam sambil memperhatikan bonsai-bonsainya, lalu diatas meja ada sepiring pisang goreng kesukaannya, yang selalu membuat ibu malas jika ada pisang, ayah selalu meminta untuk digoreng. Dan mau tidak mau ibu yang tidak punya terigu harus membelinya terlebih dahulu. Rasanya aku sudah bosan dengan pisang goreng. Tetapi entah kenapa ayah sangat menyukai pisang goreng?
Aku jarang sekali berbicara bersama ayah berdua. Menurutku ayah sangat kaku, tidak bisa diajak bercanda, kalaupun bercanda, itu sangat kaku. Tidak asik. Berbeda sekali kalau dengan ibu yang asik diajak bicara atau sekedar bercanda. Makanya aku sangat dekat dengan ibu.
Tetapi hari ini aku harus berbicara sama ayah, ada hal penting yang harus disampaikan. Tapi aku takut, dan tidak tahu harus bagaimana cara berbicara kepada ayah.
Semalaman aku memikirkan cara untuk berbicara kepada ayah. Aku tidak tahu kenapa aku takut kepada ayah, bicara saja aku harus memikirkan caranya. Aku takut jika aku bicara aku salah dan membuat ayah marah.
Aku mencoba tenang. Kadang aku sudah berbicara dengan ibu, tapi kelihatannya ibu belum bercerita tentang aku ini. Ibu masih memasak didapur, aku beberapa kali melihat ibu didapur. Aku hanya mencoba menghilangkan kegugupan ini.
“Gimana kata ayah?” kata ibu. ketika aku sedang memperhatikan ibu sedang menggoreng ikan asin.
Aku melihat ikan asin itu dibalik oleh ibu. “Aku belum bilang,” aku memilih untuk pergi dan mengambil minum.
Ibu tidak lagi bicara. Aku tahu apa yang ibu pikirkan, aku pun merasa aku sudah tahu jawaban ayah. Jika sudah begitu aku malas untuk berbicara kepada ayah.
Aku pergi ke teras. Aku mencomot pisang goreng yang tersaji di meja lalu aku memakannya. Pisang goreng itu tampak tidak selera, namun itu sebagai pengalihan ku. Aku duduk di kursi itu, aku melihat ayah yang sedang memotong tanamannya.
Tidak sadar pisang goreng yang aku makan sudah habis. Aku menghela nafas dan kembali beranjak dari sana untuk mengambil minum ke dapur. Aku kembali dengan segelas air putih yang aku bawa dari dapur, aku melihat ayah sudah duduk di kursi sambil menyeruput kopinya.
Aku letakkan air yang aku bawa diatas meja. Aku menatap pisang goreng tinggal sedikit lagi, lalu aku menatap ayah untuk kesekian kalinya.
Aku menghela nafas perlahan.
“Yah,” aku tidak tahu ayah mendengar ucapanku atau tidak.
“Ternyata masuk kesana harus pakai uang,” ayah masih diam.
Aku kembali menghela nafas lalu aku meneguk air yang masih tersisa sampai habis. “Tapi harus DP dulu, DP nya satu juta setengah. Sisanya nanti kalau sudah masuk.”
“Ya, sudah.” Bapak kembali memakan pisang goreng tanpa menatapku.
Aku hanya diam, menunggu ucapan Ayah selanjutnya.
“Kalau memang benar-benar masuk, ya. Sudah.”
“Aku gak tahu.” jawab aku menundukan kepala.
Aku tidak bisa mengatakan iya atau tidak. Aku tidak mau tertipu untuk kedua kalinya, Ayah juga pasti merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Mengharapkan dan menggantungkan harapan kepada manusia yang jelas-jelas tidak bisa mewujudkan harapan itu. Ini yang aku tidak mau, dimana situasi yang sama-sama jatuh pada lubang. Jika menengok kebelakang, aku merasa bahwa aku tidak berguna. Lalu disisi lain para manusia yang selalu aku menaruh harapan itu dan ternyata akhirnya sia-sia.
Beberapa kali aku kecewa dengan aku yang selalu tergoda dengan mulutnya yang manis mengiming-imingi yang sangat besar. Aku tidak mengerti apa yang dia mau.
Aku hanya menarik nafas dan beranjak dari duduk. Ingin aku berteriak sekencang mungkin jika bisa sampai suaraku habis.
Aku pergi ke kamar. Aku bercermin, aku tersenyum mengejek dan dari pantulan diriku sepertinya sedang mengejek juga. Terdengar suara motor, Ayah pergi bekerja.
“Inikan yang lo mau,”
Keresahan ini memang sangat membuat aku bingung. Tapi aku tidak akan pantang menyerah, masih ada jalan lain yang bisa ditempuh. Percaya pada diri sendiri dan yakin kepada Allah SWT, bahwa rencananya selalu lebih baik.
Komentar
Posting Komentar