ZUPRA Genre Fantasi

 ZUPRA

PART IV



“Suara apa itu?” tanya Faul.

Suara itu seperti cicitan yang banyak disertai dengan gerasak-gerusuk yang menakutkan. Namun tidak lama suara itu hilang.

“Kita harus memastikan suara apa itu,” kata Riza.

Semua menatap Riza dengan serius. “Tapi, kita tidak mungkin menyusuri ke setiap penjuru Gua ini,” ujar Kris.

Faul menghela nafas. “Lagipula Gua ini sangat bau,” lalu menutup hidungnya.

Jeni mendelik. “Halah, cemen, lo. Baru bau segini juga,”

Faul melotot tidak terima. “Jen, kamu gak punya hidung, ya? ini sangat menyengat,”

“Enak, aja. Hidung mancung kaya gini, dibilang tidak punya hidung.”

“Iya, aku selalu kalah,”

“Memang!”

“Sudah-sudah, kalian ini bisa tidak sih, tidak usah ribut dulu. Kita harus memikirkan rencana apa selanjutnya,” Kris menengahi.

Riza menghembuskan nafasnya.

“Aku akan kembali menggunakan kamera pengintai, kita bisa tunggu disini dan melihat ada apa didalam sana.” ucap Riza.

Setelah itu Riza mengeluarkan tongkatnya dan berkonsentrasi sambil memejamkan mata. Dan seketika tongkat yang dipegang Riza, berubah kembali menjadi ratusan kamera pengintai, dan sebagian tongkat itu, berubah menjadi jam ditangan Riza. Atau layar kamera pengintai.

Riza memerintahkan kamera tersebut untuk berpencar didalam Gua. Kris, Faul, dan Jeni mendekati Riza melihat layar jam tangan yang menampilkan gambar dalam Gua.

Terlihat dalam Gua itu, sangat gelap, lembab, dan banyak kotoran dimana-mana. Ternyata Gua ini sangatlah dalam, mungkin sekitar 3 km/lebih karena memang belum termasuk lorong-lorong yang menuju ruang-ruangan.

Semakin dalam Gua, ada banyak seperti ruang-ruang disetiap ujung lorong. Dan di ruangan itu terlihat ada beberapa telur, sebesar kepalan orang dewasa. – telur apa itu?

Dan semakin dalam, kamera pengintai menangkap sebuah gambar yang menunjukan ruangan yang sangat besar. – seperti ruang tengahnya Gua. Luasnya sekitar dua puluh sampai tiga puluh meter, tapi ruangan itu berbentuk lingkaran.

Kamera pengintai, yang berbentuk bola namun sangat kecil itu, merekam suara yang ditangkap dari arah sisi kanan ruangan tengah itu. Suara itu terdengar seperti desisan, dan Riza kemudian mengarahkan kameranya untuk melihat suara apa itu.

Dan sekitar lima ratus meter dari ruangan yang besar itu. Riza, Kris, Jeni, dan Faul menahan nafas sebentar, terlihat banyak – sangat banyak, puluhan atau ratusan Tikus yang berwarna hitam. Sedang tertidur.

Riza, Jeni, Faul dan Kris terkejut bukan main dan bergidik ngeri, melihat begitu banyak Tikus yang sedang tertidur. Bentuk Tikus itu, sebesar kucing dan ada yang lebih besar – sebesar Domba. Lalu giginya bertaring keluar, bentuk ekor yang sedikit aneh, diujung ekornya tipis dan melebar, dan bulu yang berwarna hitam – keabu-abu an.

“Kayanya itu bukan Tikus sawah,” ucap Faul yang masih memperhatikan layar kamera pengintai sambil bergidik ngeri.

“Lalu?” tanya Kris.

“Monster Tikus. Lihat! Giginya bertaring,” jawab Faul.

Mereka fokus melihat layar dengan serius.

Dan kamera pengintai itu terus bergerak, melihat berapa banyak Tikus yang berada disana. Tiba-tiba ada tikus yang merasa terganggu dengan desingan kamera pengintai punya Riza, Tikus itu menggeliat. – sepertinya tidurnya terganggu.

Riza, Faul, Jeni, dan Kris kembali menahan nafas. Seluruh tubuh mereka mendadak kaku. Riza kemudian dengan cepat membalikkan kameranya, karena tidak mau jika Tikus-tikus itu sampai bangun.

Dan tanpa disangka, tikus-tikus itu terganggu oleh temannya yang terbangun. Tikus itu mengeluarkan bunyi yang sangat kencang, dan menggeram marah. Dan semuanya terbangun, lalu tikus-tikus itu membuat kegaduhan yang suaranya sampai terdengar ke luar. Segera Riza menarik kamera pengintainya. Karena kalau tidak, pasti tikus-tikus itu akan semakin marah karena telah mengganggu tidurnya.

“Cepat, Za! Kita harus lari dari sini. Sebelum tikus-tikus itu keluar.” Jeni sudah berlari kencang menjauhi Gua. Lalu disusul oleh Faul, Kris dan juga Riza dibelakangnya.

Sekitar dua kilometer dari Gua itu. Mereka berhenti sejenak di bawah pohon besar. Faul menarik nafasnya yang tersengal-sengal. Lalu Riza, menengok untuk memastikan apakah tikus-tikus tadi mengikutinya atau tidak.

“Teman-teman, kita istirahat sebentar.” kata Riza.

Mereka istirahat sebentar. Lalu Faul menjatuhkan diri, karena sudah tidak kuat lagi. Harus berlalari sejauh dua kilometre tanpa henti.

“Semuanya aman kan, Za?” tanya Jeni yang duduk disebelah Kris.

Riza menganggukkan kepala.

“Jen, duduk disini. Jangan dekat-dekat sama dia,” Kris menjulingkan matanya, dan melempar ranting kearah Faul.

Jeni menatap Faul tidak suka. “Ngapain dekat-dekat sama lo, nanti gue gatel lagi,”

Riza yang melihat interaksi Faul dan Jeni hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Capek. haus. Za, kamu bawa minum, tidak?” tanya Faul.

“Ada. Sebentar,” Riza merogoh tasnya untuk mengambil minum lantas diberikan kepada Faul.

“Makasih.”

“sama-sama.”

***

Kini mereka sudah kembali ke saung, untuk memikirkan rencana selanjutnya.

Matahari semakin ke ufuk barat, sebentar lagi malam akan datang. Mereka mengisi perut dengan membakar jagung, sejenak mereka melempar obrolan yang ringan, dan lagi-lagi obrolan itu hanya banyak diisi oleh Faul yang suka menggoda Jeni.

“Jen, liat! Senja selalu indah ya? apalagi ada kamu disisi aku.” Faul menatap senja itu dengan pikiran yang menerawang. Seakan-akan Jeni dan dirinya bercanda tawa dibawah langit senja.

Jeni yang sedang membakar jagung, memperlihatkan wajah mualnya. Kata-kata Faul sungguh membuatnya muak. Jeni hanya diam.

“Iya, nanti baku hantam.” timpal Kris lalu terkekeh kemudian.

Riza yang mendengar hanya tersenyum.

“Za, nih mau? Punyaku sudah matang,” tawar Jeni. Jagung yang dibakar olehnya diberikan kepada Riza.

Riza menatap Jeni. “Tidak usah, Jen. Nih, aku lagi bakar juga.” Riza menunjuk dengan dagunya yang memang sedang membakar jagung.

Faul yang melihat itu, terlihat kesal. “Yaelah, Jen… buat aku aja lah, ngapain nawarin yang tidak mau. Aku masih lapar lho.”

Jeni sungguh sangat kesal. Lalu menghela nafas. “Ya, sudah. Nih, gue lagi baik hati.” lalu Jeni memberikan jagung bakarnya kepada Faul.

“Makasih, Jeni… jeni cantik lho,” Faul menerima jagung itu dengan wajah yang sumringah.

Kris dan Riza terkekeh pelan.

Mereka menghabiskan jagung yang Riza bawa dari rumah.

“Habis ini kita akan kembali ke Gua itu. Siapkan, apa yang harus disiapkan.” Ingat Riza.

“Siap!”

Malam sudah tiba. Mereka telah sampai di dekat Gua, tempat sarang tikus-tikus itu. Mereka sudah bersiap dengan senjatanya masing-masing. Mereka bersembunyi dibalik pohon besar, sambil mengawasi sekitar. Menunggu sekitar setengah jam, mereka mendengar cicitan dari arah Gua.

Riza, Kris, Jeni dan Faul sudah memegang senjata yang berada ditangannya masing-masing. Kemudian suara gemuruh itu datang, seperti – ribuan banteng yang berlari di Padang.

“Semuanya bersiap…!!” Teriak Riza.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Uang Lima Ratus Rupiah

CERITA HARI INI