Cinta Rani
Hanya malam yang menjadi saksi, menumpahkan segala isi hati.
Hari kemarin membuatnya harus menguras emosi, bagaimana tidak lelaki yang mebuatnya nyaman dan memberikan warna setiap harinya. Kini menghilang.
Menghilang, seolah tidak terjadi apa-apa. Lalu perasaannya selama ini. Apa ini sebuauh permainan?
Rani perempuan itu. Dia sudah jatuh pada sosok Aldi, mungkin kata orang terlihat biasa saja tidak ada yang istimewa darinya. Namun bagiku dia adalah sosok yang membuat aku bahwa yang aku butuhkan sekarang seakan terpenuhi. Dia menjadi pendengar yang baik, dia mengajarkan aku bagaimana menghargai, dan dia membuat aku nyaman.
Perkenalanku dengannya memang dari orang lain. Dia adalah temannya yang diperkenalkan denganku. Walaupun umur dibawah satu tahun dengan ku tetapi dia bersikap dewasa.
Jika laki-laki lain mengajak bertemu di tempat lain, tetapi laki-laki ini langsung ke rumah. Seolah memang sudah berkenal lama, aku menyambutnya dengan senang.
“Hai, asalamualaikum.” Ucapnya dengan senyum manisnya.
“Hai, walaalaikumsalam.”
Untuk beberapa saat, mungkin terlihat canggung. Tetapi ketika sudah mengobrol banyak dengannya membuat aku tidak canggung lagi.
Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, jam bergani menjadi hari, hari berganti menjadi bulan.
Banyak hal yang selama itu aku lakukan dengannya. Entah itu bertukar kabar, dia bermain kerumah, dan mengajak aku makan diluar.
Perasaan yang belum pernah aku rasakan ketika aku jatuh cinta pada seseorang yang membuat aku jatuh sejatuh jatuhnya. Membuat aku berharap bahwa kamu adalah yang terakhir untuk aku bersama.
Suatu ketika hari dimana ada keluarga yang sedang menggelar hajatan. Seluruh keluarga ada disana termasuk aku. Tiba-tiba dia telepon.
“Iya, hallo. Kenapa?” aku bahkan sudah biasa menerima telepon dari dia.
“Kamu dimana? Kok berisik?” Tanya dia, diseberang sana.
“Aku lagi di saudara. Kenapa memangnya?”
“Aku kesana, ya?”
“Gak usah. Ngapain?” padahal dalam hati aku sangat senang.
Dia mematikan teleponnya.
Tidak beberapa lama, dia datang dengan pakaian rapih. Aku sampai terkejut dia datang. Aku menemuinya, yang sedang memakirkan motor.
“Kan tadi aku bilang, gak usah kesini.” Ucapku agak tidak santai, sebenarnya aku malu sama seluruh keluarga. Tapi aku senang.
“Tapi aku ingin kenal sama keluarga kamu, memang gak boleh?” tanyanya sambil tersenyum melihat aku cuek.
Dia berjalan mendahului, seolah semua baik-baik saja. Padahal dia tidak tahu bagaimana detak jantung ku yang berdetak cepat.
Ternyata kedua orang tua ku menyadari kedatangannya.
“Aldi.” Ucap mamah
“Asalamualaikum mah,”
“Waalaikumsalam.” Mamah tersenyum
Aku yang berada disampingnya hanya tersenyum kaku. Saudara-saudara ku mulai menilai kedekatan kami. Ada yang menggoda yang membuat aku malu. Ingin rasanya aku pergi dari sini menggunakan pintu kemana saja.
“Nah, sekarang ada kamu. Jadi mamah nitip Rani ya. Mamah mau pulang.”
“Iya, mah.”
Lah, emang aku barang dititipkan. Setelah berpamitan aku menghampiri Aldi.
“Yaudah, sekarang pulang!” ucapku sedikit risih melihat orang-orang yang ada disekitar.
“Ayo.” Jawabnya.
Memang sejak tadi kedua orang tua ku memperdebatkan pulang, karena motor yang aku bawa di bawa oleh ayah dan motor ayah dibawa adik aku.
“Kamu kenapa? Mukanya ditekuk gitu?” Tanya dia memelankan laju motornya.
“Aku gak suka orang-orang liatnya kaya gitu.”
“Yaudah gak usah diliatin, gak usah didengerin. Toh, mereka tidak tahu apa yang kita rasakan. Gak usah hiraukan mereka.”
“Iya, tapi aku kesal sama mereka.”
“Turun yuk! Udah sampai.” Ternyata kita sudah sampai depan rumah. Padahal aku masih ingin berlama-lama dengannya.
“Udah, gak usah cemberut gitu. Jelek tahu.” Dia mengusap puncuk kepala ku yang masih terbalut hijab.
Aku yang diperlakukan demikian membuat pipi ku panas.
“Aku pulang ya.” Aku hanya mengangguk.
“I love you.” Ucapnya dengan senyum manis. Dia kembali mengusap kepala ku dengan sayang.
“I love you too.” Jawabku pelan karena malu.
Dia hanya terkekeh pelan.
Semakin kesini, membuat aku semakin nyaman. Aku memang tidak mempertanyakan hubungan ini. Toh, yang aku lihat dia memang sudah berpikir dewasa. Waktu itu aku berpikir, lelaki dewasa bukan hanya sekedar ucapan tetapi tindakannya. Dan aku yakin dia sudah dewasa.
Namun semakin kesini, dia tidak sehangat dulu. Yang sering memberi kabar, bercerita, main ke rumah. Kemana dia?
Dia benar-benar menghilang.
Aku seri ng bertanya pada temannya, stalking di instagramnya, dan kadang aku melihat dia sering bermain bola bersama temannya.
Apakah dia sadar bahwa aku menunggunya?
Aku merindukan dia sampai sekarang, aku masih berharap dia kembali. Aku bertanya apakah aku pernah bersalah sama dia, atau dia cuma menganggapku teman.
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu hinggap dikepala membuat aku bingung.
Sekarang aku sadar, bahwa dalam hubungan suatu kepastian adalah yang terpenting. Karena aku tidak mempertanyakan hubungan ini serius atau tidak, tetapi yang aku rasakan. Apa yang dia lakukan adalah menunjukan bahwa dia serius padaku.
Walaupun aku tersakiti entah kenapa aku tidak bisa membenci dirinya. Aku sudah jatuh.
Jatuh dalam pesonanya.
Komentar
Posting Komentar