Fani, "deadliners"
Fani, “deadliners”
Suara hewan malam yang berbunyi mengisi malam sunyi. Didalam kamar dengan lampu yang temaram, seseorang sedang duduk diatas karpet membungkuk sambil mengerjakan tugas dari dosennya. Wajahnya sangat serius dan beberapa kali menghela nafas berat.
Beberapa buku berserakan disekitarnya. Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, sesekali mulutnya menguap lebar, mata yang berair dan beberapa kali mengganti posisi belajarnya.
Tepat pukul dua belas malam, Fani. Merenggangkan ototnya yang kaku, kemudian menghela nafas dan mengeluarkannya secara kasar.
Fani memeriksa lagi tugas yang sudah diselesaikannya, matanya bergulir ke kanan dan ke kiri, sesekali dahinya mengernyit dan juga tampak berpikir.
Tugas hari ini cukup menguras otaknya.
Setelah selesai, Fani mulai merapikan buku-buku yang berserakan kemudian di simpan dirak buku yang tersimpan dipojok kamarnya.
Mata Fani melihat Agenda untuk pagi ini, betapa terkejut. Bota matanya sudah mau loncat keluar. Ketika kantuk sudah menyerang, tubuh ingin dibantingkan ke kasur yang empuk. Lenyap sudah. Masih ada tugas yang harus diselesaikan, tubuh Fani meluruh kebawah, matanya sudah berkaca-kaca, terduduk memeluk kakinya dan menenggelamkan kepalanya.
Terdengar isakan yang mengisi kamar dan heningnya malam. setelah cukup mereda, Fani mulai bangkit menghapus air matanya dan langsung mengambil buku tugas yang lain untuk dikerjakan tugasnya.
Kali ini dia mengerjakannya di meja belajar, dia ambil pulpen itu dan membuka tutupnya. Tangannya membuka buku itu, setelah buku itu dibuka. Fani hanya diam, menatap tugas itu. Tiba-tiba pikirannya melayang dan kenangan itu tiba-tiba terlintas dikepalanya.
Sore itu, di ruang keluarga. Suara televisi yang memenuhi ruangan. Beralaskan karpet, Fani kecil bersama ibunya sedang belajar. Waktu itu Fani baru memasuki TK.
Pensil ditangan kanannya yang kecil digenggam oleh sang ibu yang sedang mengajarinya membuat sebuah huruf. Beberapa menit sekali mata Fani tertuju pada televisi yang sedang menayangkan film kartun kesukaannya.
“Hayu atuh neng, ini selesaikan dulu PR nya.” Tegur ibu menatap Fani.
Fani yang masih asik menonton televisi mengabaikan ucapan ibunya. Sesekali bibirnya tertawa melihat adegan lucu yang diperankan tikus dan kucing. Ibu hanya menghela nafas lagi.
“Hayu neng! Nanti dulu nontonnya, kerjakan dulu PR nya.” Ibu mengambil pensil yang dipegang oleh Fani membuat Fani menoleh ke ibunya.
Fani langsung mendekatkan bukunya dan mengatur posisi duduknya yang nyaman. Ibu Fani memberikan pensil itu kepada Fani.
“Sok, nih turutin… kaya Mamah.” Ibu menunjukan contoh huruf yang sudah dia tulis dibuku lain.
Fani melihat contoh huruf yang ditunjukan oleh sang ibu. Beberapa kali Fani menghapus hasil tulisannya, membuat bukunya menjadi tipis.
“Jangan dihapus terus atuh. Bukunya jadi tipis,” Fani hanya nyengir menatap sang ibu.
“Udah. Sekarang ganti angka Sembilan, sok tulis!” Fani mulai menghembuskan nafasnya kasar, dan mulutnya sesekali menguap lebar.
“Gak bisa Mah,” baru pensil itu menggores bukunya, Fani langsung menghapusnya.
Ibunya merebut pensi yang dipegang oleh Fani dan mulai membuat contoh angka Sembilan. Fani mulai memperhatikan setiap gerakan tangan yang sedang menulis angka Sembilan, beberapa kali ibunya menulis angka Sembilan.
Namun belum membuat Fani bisa, hapus lagi – hapus lagi. Sampai berulang kemudian buku itu robek sedikit karena terlalu sering dihapus.
Tidak lama Bapak datang dari arah dapur, dan langsung duduk disamping Fani. Kepalanya menoleh melihat Fani yang sedang menulis.
“Bukan gitu atuh.” Bapak merebut pensil ditangan Fani yang sedang menulis, lalu menulis dibuku yang sudah tidak terpakai. “Nih, liatin Bapak. Dari atas dulu, Baru kebawah.” Fani memperhatikan Bapak yang sedang menulis angka Sembilan.
“Coba!” Bapak memberikan pensil kepada Fani dan mulai memperhatikan Fani yang sedang menulis angka Sembilan sesuai dengan ajarannya.
Fani mengambilnya dan mulai mencoba apa yang Bapaknya jelaskan, sesekali Ibunya membantu menghapus ketika salah menulis.
“Bukan gitu. Gini nih, liat Bapak.” Bapak kembali merebut pensil Fani. Dan Fani kembali memperhatikan setiap gerakan tangan Bapaknya.
“Nih.” Bapak mengembalikan pensil kepada Fani.
Fani mencoba kembali apa yang dilihatnya. Matanya mulai berair menahan kantuk beberapa kali menguap lebar, Ibu yang ada disampinya mengajarinya dengan sabar.
Sampai beberapa kali Fani mencoba namun gagal, Bapak yang melihatnya seperti menahan kekesalan.
“Kan tadi udah diajarin. Gini, liatin makanya. Daritadi salah mulu.” Suara Bapak sedikit tinggi. Bapak kembali menekankan beberapa yang menjadi kesalahan Fani. “Jangan gitu! Apa itu? Itu mah bukan angka Sembilan. Jelek.”
Tiba-tiba mata Fani mengabur, sudah tertutup oleh air mata. Namun sebisa mungkin Fani menahannya supaya tidak terjatuh. Beberapa kali Fani menghirup nafas menenangkan dadanya yang terasa sesak.
Fani semakin menundukan kepalanya, supaya tidak terlihat ingin menangis. Tanpa banyak bicara Fani terus mencoba menuliskan angka Sembilan, dan hasilnya tidak sebagus Bapaknya yang ditulis.
Ternyata menahan tangis bukan yang terbaik. Hidung Fani mengeluarkan ingus dan itu membuat Fani menghirupnya supaya tidak keluar.
I bu yang ada disampingnya menatap Fani sambil menghela nafas secara perlahan. Sekali lagi Bapak mengajarkan bagaimana membuat angka Sembilan yang bagus.
Kali ini mata Fani sudah tidak bisa menahan air matanya, secara tiba-tiba satu titik air mata itu jatuh pada buku. Fani kembali menahan air matanya supaya tidak meluruh dengan menghirup udara sebanyak mungkin kemudian menghembuskannya secara perlahan.
Tepat pada air mata itu jatuh, ibu melihat. Lalu ibu berkata “Udah malam, tidur gih sana. Nanti ibu beresin buku dulu.” Tanpa banyak bicara lagi Fani langsung beranjak dari duduknya dan pergi ke kamar.
Fani langsung tidur menutupi seluruh badannya menggunakan selimut, dadanya masih sesak. Lantas air mata itu akhirnya terjun bebas dari pipinya, lagi-lagi Fani membekap mulutnya supaya tidak terdengar isakan.
Terdengar ibu memasuki kamar kemudian duduk di pinggir kasur sambil membetulkan letak selimut. Ibu mengusap lembut punggung Fani yang sedikit bergetar.
“Udah jangan nangis, tidur udah malam.” Ibu meninggalkan kamar dan menutup pintu kamar.
Fani menoleh melihat ibunya yang sudah pergi. Fani merubah posisinya menjadi terlentang, memang sedari tadi Fani membelakangi ibunya.
Air mata itu semakin deras, perkataan Bapaknya yang terus terngiang membuat dadanya semakin sakit.
Fani tersadar dari lamunannya. Bibir Fani berucap istigfar, lalu matanya melihat jam yang ada di dinding kamarnya yang menunjukan pukul 00.30 WIB. Lantas langsung mengerjakan tugas yang sempat tertunda.
Pagi harinya Fani bangun jam 08.00 WIB karena sinar matahari menyelinap masuk lewat sela-sela jendelanya. Dengan langkah gontai, Fani keluar kamar untu pergi ke kamar mandi. Setelah dari kamar mandi, Fani duduk sebentar dipinggiran kasur dan mengambil ponselnya.
Ketika menyalakan data, banyak notifikasi yang masuk. Termasuk dari grup teman-teman kampusnya. Dan ketika membuka Grup Whattsapp nya, terkejut dan sekaligus kesal tetapi bersyukur.
Terdapat Screenshoot yang dikirimkan di Grup, percakapan dosennya dengan ketua kelas. Bahwa tugas yang seharusnya dikumpulkan hari ini diundur menjadi minggu depan.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar