Sebentar
Sebentar
Karya, Maspupah Septiani
Suasana penuh dengan duka. Kesedihan yang sangat mendalam dirasakan keluarga, apalagi orang tua. Kepergian gadisnya, secara tiba-tiba membuat ibunya sangat terpukul. Para saudara, tetangga dan sahabat mengunjungi rumah duka.
Mentari pagi ini terasa lebih cerah, namun entah mengapa rasanya begitu mendung. Dibawah pohon yang rindang, tanah merah yang sedikit basah akibat hujan semalam. Orang-orang berkumpul melihat jasad yang dimasukkan ke liang lahat tempat peristirahatan terakhirnya.
Isakan yang terdengar sangat pilu dan menyayat hati. Saudaranya merangkulan bahu ibunya sangat erat, mencoba untuk tetap tegar dalam menghadapi kehidupan ini. Doa dan ucapan turut berduka cita menguatkan hati untuk menerima dengan ikhlas bahwa semuanya akan kembali kepada-Nya.
Tanah itu sudah dipenuhi oleh bunga, ditatap papan itu dengan nama, tanggal lahir dan tanggal akhirnya didunia ini.
Kami berkumpul dengan teman-teman dekatnya sambil memberikan doa yang terbaik untuknya.
Aku menatap nisan itu dengan nanar. Ada rasa sesak dan ingin mencurahkan segala isi hati, tetapi aku tidak mau melihat ibunya yang semakin tersakiti melihat ini.
Kutarik nafas panjang kemudian ku hembuskan secara perlahan. Air yang aku bawa, aku kucurkan ke gundukan yang penuh bunga itu. Lalu aku mengadahkan kedua tangan untuk mendoakan yang terbaik untuknya.
Dia yang mengajarkan aku untuk kuat, dia yang mengajarkan aku untuk tidak mendengarkan perkataan orang lain dan dia yang mengajarkan aku tahu bahwa hidup harus dibawa santai.
Kenangan-kenangan yang dulu berputar tiba-tiba. Aku tersenyum masam, tak banyak ceita bersamanya namun membuat aku tahu arti teman dan juga hidup.
“Hai, aku Yuna.” Aku membalas uluran tangannya seraya tersenyum manis.
Kemudian dia tersenyum. “Mau ikut ke kantin gak?” bersama teman dia yang bernama Lena.
Aku mengangguk. “Boleh,” aku langsung mengikuti mereka ke kantin.
Sejak saat itu aku sering ke kantin bertiga, di kelas bertiga.
Aku mengenalnya tiga tahun lamanya. Berbagai cerita sedih, senang, bahkan memalukan. Terasa begitu indah.
Namun kami bertiga suka menjadi bahan bullyan teman-teman dikelas, sebab itulah kami sering menguatkan satu sama lain.
Aku yang sedang menunggu diatas motor dibawah teriknya matahari. Sambil mengipas-ngipaskan tangan mata Aku terus menoleh kebelakang menunggu mereka sedang membeli cilok.
Aku memang ke sekolah menggunakan motor karena memang belum ada larangan siswa untuk membawa motor.
“Ayo cepetan! Panas nih.” Sekali lagi aku memanggil mereka.
“Iya, sebentar.” Jawab Yuna sedang menerima kembalian kemudian dimasukan ke saku bajunya.
Lena dan Yuna menaiki motor Aku. Biarlah orang yang akan berkata apa, yang terpenting kami menikmati suasana ini.
“Akhirnya sampai juga.” Ucapku menghembuskan nafas lega.
Kemudian Lena yang berada dipaling belakang turun terlebih dahulu disusul Yuna. “Alhamdulilllah.”
“Yuk masuk! Kayanya gak ada siapa-siapa.” Yuna mempersilahkan masuk ke rumahnya dan Aku, Lena dengan cepat membuka sepatu.
“Asalamualaikum.” Ucap Kami berbarengan.
“Walaikumsalam.” Jawab ibu Yuna.
“Lho, mamah. Katanya mau kerumah nenek?” tanya Yuna pada ibunya. Sambil mencium tangan ibunya.
“Nggak jadi. Mamah harus masak nanti ada rapat, kata bapak orang-orang kantor mau makan disini.”
“Oh gitu, yaudah aku ganti baju dulu.” Yuna pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
“Eh, siapa ini? Ada temennya Yuna?” Ibu Yuna melihat kami yang masih berdiri didekat pintu.
“Iya, bu.” Kemudian kami menyalimi ibu Yuna.
“Duduk dulu, ibu kedalam dulu.”
Kami hanya mengangguk kemudian kami duduk.
Lena kemudian mengeluarkan handpone yang baru kemarin dia beli. Aku melihatnya terkagum.
“Gila, ini hp keluaran baru.” Lena hanya tersenyum mendengarnya.
“Berapa Len?” tiba-tiba Yuna sudah berada didepanku dengan pakaian rumahnya.
“Gak tahu aku dibeliin sama kakak.” Jawab Lena menatap Yuna.
“Yaudah. Kita foto-foto yuk!” Ajak Lena.
Kemudian kami foto-foto sebelum mengerjakan tugas kelompok.
“Nanti hari minggu kita barbeque an yuk, mau gak?” ucap Yuna kini mengubah posisinya duduk disamping Lena.
“Boleh. Ayo.” Aku mengangguk antusias.
“Kamu mau gak Len? Nanti aku jemput kamu kok.”
“Ok. Boleh,”
***
Hari minggu yang cerah, aku siap-siap untuk kembali ke rumah Yuna dengan menggunakan motor kesayangan ku si Merah.
Aku belokan si merah ke rumah Lena terlebih dahulu. “Asalamualaikum. Lena,” panggil aku.
Pintu rumah Lena terbuka, terlihat Lena sudah siap. “Walaikumsalam. Yuk, berangkat.” Aku menganggukan kepala lalu menaiki si merah.
Akhirnya sampai dirumah Yuna. Lena turun dari motor dan melepas helmnya kemudian disusul dengan aku yang sudah memarkirkan motor dan melepas helm lalu disimpan diatas motor.
“Asalamualaikum. Yuna, Yuna.” Panggil kami berdua.
“Walaikumsalam. Eh, ayo masuk. Yuna lagi mandi.” Ibu Yuna tersenyum lalu mempersilahkan masuk.
Aku dan Lena duduk dikursi kemarin yang kita duduki. Lena kembali mengeluarkan handponenya dan aku yang tidak punya hanya melihatnya saja.
“Hai, maaf ya nunggu lama. Aku baru bangun soalnya.” Yuna tersenyum kaku kemudian menggaruk tengkuknya.
“Enggak kok. Baru aja datang, ya nggak Len?” aku menoleh ke Lena yang masih fokus dengan handponenya.
Aku langsung menyenggolnya dengan tangan sikut karena tidak menjawab pertanyaanku. “Kenapa?”
“Mau main hp, atau mau ikut belanja?”
“Ikutlah. Yuk!” Lena menyimpan handponenya kedalam saku celananya.
Kami pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk barbeque. Sesekali kami bercanda dengan pedagang untuk tawar menawar.
Setelah berbelanja aku dan Lena menyiapkan alat pembakarannya sedangkan Yuna dia sedang menyiapkan makanannya.
Kami mulai membakar makanan itu. Seperti, bakso, sosis dan beberapa daging. Dan kami mulai menyantapnya ketika makanan itu satu persatu sudah matang.
Kami bercerita, bercanda, dan berfoto setelahnya. Kami menghabiskan waktu dirumah Yuna seharian ini. Aku sampai lupa waktu karena keasikan bermain. Aku dan Lena pun memutuskan untuk pulang.
Mungkin ini hanya sebagian keci yang aku ceritakan tentang dirinya. Namun aku sempat membuatkan puisi untuknya, pertama kalinya aku membuat puisi karena dia.
TERIMAKASIH TEMAN
Tak harus aku bayar
Tak harus aku balas
Engkau memberi, mengasihi
Tulusnya hatimu
Tak balas kasih
Bangga aku memiliki
Teman sepertimu
Tak mandang harta, tahta
Tapi jiwa, hati dan ketulusan
Selamat jalan teman…

Komentar
Posting Komentar