Ditepi Waktu
Ditepi waktu
Aku menangis tersedu. Mata memerah, nafas tersenggal. Terdengar jarum jam terus bergerak setiap detiknya. Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Tidak peduli malam semakin larut, tidak peduli jika nanti matanya akan membengkak akibat terlalu lama menangis.
Aku, Dina. 19 tahun, hidup di dunia namun masih mencari jati diri yang sebenarnya. Anak pertama bukan suatu keberuntungan atau kesialan, karena tempat dan posisi selalu mempunyai porsinya tersendiri.
Dikatakan dewasa belum terlalu dewasa, dikatakan remaja mungkin sudah terlewat. Akhir-akhir ini dia merasa bahwa hidup tidak seperti apa yang dipikirkan. Banyak kekecewaan, masalah yang terus menimpanya. Belum satu masalah selesai, ada lagi masalah yang datang.
Sejak aku mempunyai ponsel. Aku diajarkan untuk tanggung jawab, dan susahnya mencari uang. Aku berusaha untuk tidak meminta uang untuk membeli pulsa, aku menabung , aku menyisipkan uang jajanku untuk membeli pulsa. Dan sejak SMA aku sudah mulai memulai untuk berjualan, untuk uang jajanku setiap harinya. Dan aku tahu sendiri bagaimana aku mencari uang, belajar untuk hemat, nabung dan tanggung jawab.
Aku tidak pernah menyesali bahwa aku belum bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Aku sadar belajar bukan soal tempat, sekolah, dan jadwal yang teratur. Aku bisa belajar di lingkungan sekitarku, mempelajari apa yang aku suka, dan aku bisa mengenal diri aku sendiri. Aku berpikir jika memang ingin kuliah, nanti juga bisa. Tidak harus sekarang.
Dan malam ini, rasanya aku merasa banyak sekali beban yang aku tanggung. Permasalahan yang bertubi-tubi, sejak orang yang aku sukai ternyata bukan seperti apa yang aku pikirkan. Dia ramah, penyayang, perhatian, dan murah senyum. Ternyata itu ditunjukan ke semua orang. Dan aku salah mengartikan itu semua. Dan tambah sakit hati lagi dia sudah mempunyai kekasih.
Rasa kagum dan suka, hanya sebatas kita hanya teman.
Entahlah sejak saat itu, aku merasa bahwa tidak ada orang lain yang memahami apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan, dan aku merasa kesepian.
Sejak itu aku merasa iri kepada teman-teman yang sudah mempunyai kekasih, dipikiranku pasti mempunyai kekasih bisa memberi semangat, pelukan yang hangat dan sebagai teman untuk curhat.
Aku menghembuskan nafas lelah.
Semakin dewasa ruang lingkup pertemanan semakin sedikit. Dari dulu bisa dibilang aku tidak terlalu banyak teman, bisa dihitung dengan jari. Itu pun jika aku bercerita aku hanya mempercayai satu orang teman saja. Dan sekarang satu-satunya teman curhat yang aku punya sudah mempunyai kehidupannya.
Membuat aku tidak tahu kepada siapa aku bercerita, yang aku lakukan sekarang, yang aku punya sekarang hanya Allah SWT. Aku selalu berkeluh kesah kepada-Nya, aku tahu bahkan Allah sudah mengetahui apa yang aku rasakan, dan apa yang aku lakukan. Aku hanya berserah, yang penting dengan aku bercerita dan mengeluarkan semua perasaan itu. sedikit membuatku lega.
Ternyata aku ketiduran diatas sejadah. Dan matahari sudah menampakkan sinarnya disela-sela jendelaku. Aku terlalu lelah, sampai aku meninggalkan shalat subuh.
Pagi ini seperti biasa dan menjadi rutinitas sekarang ataupun nanti. Mulai dari membereskan tempat tidur, menyapu, mengepel, mencuci, dan segala sesuatu yang terlihat kotor aku bersihkan.
Rutinitas itu dianggap tidak ada apa-apanya. Selalu dikira bahwa aku berdiam di rumah itu, selalu beranggapan bahwa aku selalu dikira rebahan. Padahal mengerjakan itu semua, selesai-selesai jam jam 11.
Waktu begitu cepat berlalu. Malam tiba. Aku sedang menyiapkan beberapa berkas untuk melamar ke perusahaan, besok pagi. Setelah selesai aku duduk di ruang tv.
Ibu datang dan duduk di sampingku. “Gimana jadinya, kemarin uang sudah masuk 1 juta. Besok langsung kerja?”
Aku menoleh. “Gak tahu, bu. Aku juga gak ngerti, gimana nanti aja. Katanya ada beberapa tes, tapi hanya formalitas saja. Keputusan besok sih, Bu.”
“Mudah-mudahan ke terima.”
“Iya.”
Besoknya. Aku menemui orang yang akan membawa aku masuk ke perusahaan itu. Dan aku tidak tahu bagaimana ceritanya, aku tidak jadi masuk ke perusahaan itu. Dan aku kena tipu.
Aku pulang, dengan berita yang membuat aku takut. Aku sudah mengecewakan kedua orang tuaku. Tapi dari sana, teman ku mengajak aku untuk melamar kembali. Namun tempatnya jauh dari rumahku, hampir 2 jam dari rumah.
Kamarku berantakan dengan berkas dimana-mana. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana, situasi yang membuat aku bingung. Hingga suara adzan magrib berkumandang. Aku ambil wudhu dan melaksanakan shalat magrib.
Tanpa sadar air mata menuruni pipi. Perasaan yang lelah, capek, bingung, marah. Semua jadi satu. Aku sudah tidak kuat menutupi ini semua. Aku duduk di ruang tengah, walau aku berusaha untuk tidak menangis, ternyata air mata ini terus keluar. Ternyata ada ibu yang sedang duduk melamun di situ.
“Bu, aku capek.” ucap ku lirih.
Ibu hanya menoleh.
Aku ingin sekali memeluk ibu. Tapi rasanya tangan dan tubuhku sangat kaku. Aku sudah tidak tahan menahan air mata itu. Aku menangis tergugu. Aku menundukan kepala dengan tangan yang berada dipangkuanku yang terus aku remas.
Aku tidak tahu ibu bicara apa. Tapi yang aku tangkap hanya. “Udah, gapapa. Ibu selalu mendoakan kamu yang terbaik, yang penting kamu sehat, rezeki bisa dicari lagi.”
“Bukan ibu gak sayang sama kamu, ibu selalu mendoakan kamu.”
Aku ingin mengucapkan kata maaf, tapi apa daya lidah terasa kaku. Aku hanya bisa berucap dalam hati yang terus aku ucapkan kata maaf.
Aku juga merasakan apa yang ibu rasakan saat ini. Banyak sekali beban pikiran, dan aku merasa aku sudah mengecewakan mereka.
Dan malam ini terasa sangat gelap. Di tepi waktu aku bersujud, aku memohon ampunan dan tidak banyak yang aku ucapkan. Aku hanya menumpahkan segala kegundahan, dan perasaan yang membelenggu. yang aku pendam selama ini.
Thank u sudah membaca. :)
Komentar
Posting Komentar